Kisah Kartono : Napi Seumur Hidup Mencari Tuhan, Dari Balik Jeruji Meraih Asa Menuju Jalan Pulang”

Gorontalo_ LAPAS Gorontalo, perjalanan hari-hari Kartono kini tak lagi dihitung dengan kalender, tapi dengan berapa banyak ayat yang ia lantunkan, berapa banyak orang yang ia ajarkan, dan berapa banyak kebaikan kecil yang berhasil ia tanam. Setelah memantapkan diri menjadi Imam Masjid At-Taubah, Kartono mulai bermimpi lebih jauh, bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk mereka yang datang sesudahnya. Ia ingin agar masjid di Lapas Kelas IIA Gorontalo itu, menjadi tempat di mana setiap warga binaan menemukan alasan untuk berubah.
“Kalau saya dulu menemukan jalan ini setelah jatuh berkali-kali, saya ingin teman-teman lain tidak perlu menunggu sejauh itu,” ucap Kartono, lirih.

Ada malam-malam panjang di mana Kartono berdoa lebih lama dari biasanya. Ia tak hanya berdoa untuk dirinya, tapi juga untuk keluarganya di luar sana orang-orang yang mungkin masih menunggu, atau mungkin sudah melupakan.
Di antara sujud-sujud panjang itu, terselip harapan kecil yang ia bisikkan dalam sunyi — sebuah pengharapan agar suatu hari Allah membuka pintu baru, membalas ketulusan doanya dengan jalan keluar yang tak pernah ia paksa waktunya.

Kartono tidak pernah memaksa takdir. Ia paham, setiap napas yang masih diberi adalah kesempatan untuk memperbaiki. Tapi di setiap sujud panjangnya, ia tetap membisikkan satu harapan yang hanya ia dan Tuhan yang tahu: harapan bahwa suatu saat, Allah akan mengabulkan doanya, untuk membuka pintu permohonan “GRASI” semoga menjadi jalan pulang baginya. Ia tidak tahu kapan, ia tidak mendesak. Yang ia tahu, tugasnya adalah tetap berdoa dan berbenah diri sebaik mungkin.
“Saya sudah menyerahkan semuanya kepada Allah. Kalau Allah mengizinkan, saya ingin suatu hari pulang. bukan sebagai Kartono yang dulu, tapi sebagai Kartono yang sudah Allah ubah, Saya yakin Allah akan memberikan kesempatan itu, bukan karena saya layak, tapi karena Allah Maha Pengampun ” katanya, dengan suara hampir tak terdengar.

Beberapa warga binaan bahkan mulai menyebut Kartono bukan hanya imam, tapi “ayah” bagi banyak jiwa yang terluka. Ia membesarkan harapan mereka, satu per satu, dengan sabar dan penuh kasih. Ia adalah bukti hidup bahwa seseorang bisa jatuh sangat dalam, tapi juga bisa bangkit sangat tinggi — asal tidak menyerah pada rahmat Allah.
Setiap hari, usai mengajar, Kartono sering duduk lama di sudut masjid. Ia menatap langit, membiarkan pikirannya terbang bebas ke luar sana — membayangkan keluarganya, membayangkan masa depan, membayangkan kesempatan kedua yang mungkin, suatu hari, datang tanpa diduga.

Dalam doanya, Kartono tetap memohon satu hal: agar setiap langkah kecilnya menjadi saksi perubahan, menjadi jalan menuju ampunan, dan—suatu hari nanti—menjadi jalan pulang ke rumah.

Di balik jeruji, Kartono terus membangun rumahnya sendiri: rumah dari doa, rumah dari pengampunan, rumah dari harapan.

#kemenimipas_bersinar
#ditjenpas_kanwilgorontalo
#lapasgorontaloIKHLAS

Response (1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *